Jum'at, 29 Maret 2024
Menguak Misteri Lailatul Qadar | Safari Ramadhan, Komut Beri Apresiasi Kinerja PLN Icon Plus SBU Sumbagteng | 303 Akademisi Ajukan Amicus Curiae, Minta MK Adil di Sengketa Pilpres | Nekat Bobol Warung, Seorang Remaja Tertangkap Warga dan Diserahkan ke Polsek Siak Hulu | Koramil 02 Rambah Kodim 0313/KPR Rohul Berbagi Takjil pada Masyarakat | Tak Patut Ditiru, Viral Video Pungli Trotoar untuk Hindari Kemacetan
 
OPINI

red
Eksistensi Jiwa Rabbani

Elemen paling vital namun sering diremehkan, bahkan ditolak, oleh para ilmuwan adalah adanya jiwa rabbani dalam diri manusia. Sebagai seorang Muslim, ketika berbicara masalah metafisik referensi saya tentu saja Alquran. Jiwa rabbani ini sumbernya adalah ruh ilahi yang ditiupkan, bukan diciptakan, oleh Allah ke dalam tubuh manusia. Di dalam Alquran ( QS 32: 7,8,9) disebutkan bahwa manusia diciptakan berasal dari tanah, lalu Allah menjadikan proses keturunannya dari air mani, dan yang lebih hebat lagi, disempurkanlah dengan ditiupkan ruh-Nya ke dalam diri manusia. 

Bahwa dalam diri manusia terdapat ruh rabbani disebutkan juga dalam ayat yang lain (QS 15:29 - 38:72), setelah sempurna proses kejadiannya, maka "Aku tiupkan ruh-KU ke dalam diri manusia, lalu mereka bersujud." Kutipan ayat Alquran ini sangat penting untuk memahami manusia bahwa dalam dirinya tidak saja terdapat jiwa nabati (vegetative soul), jiwa hewani (animal soul) dan jiwa insani (human soul), namun yang paling tinggi adalah dalam diri manusia terdapat jiwa rabbani atau ruh ilahi (divine soul).    

Perpaduan antara jiwa nabati, hewani dan insani, manusia telah berhasil menciptakan perubahan dan peradaban yang spektakular. Sesungguhnya kata "manusia" itu sendiri memiliki akar kata yang sama dengan "insan", sehingga dalam Alquran, kata "insan" lalu diterjemahkan dengan "manusia". 

Dengan kekuatan akal-pikirannya masyarakat modern merasa telah mampu membuat loncatan sejarah dan peradaban sehingga di antara mereka tidak lagi memerlukan Tuhan. Semua persoalan hidup hendak dijelaskan dan diselesaikan dengan pendekatan empiris-ilmiah. Kalaupun mereka masih percaya pada Tuhan dan agama, peran dan posisinya semakin mengecil, terpinggirkan. Orang yang percaya pada Tuhan dan agama menunjukkan keterbelakangan dan gagal memahami dunia secara rasional. 

Yang cukup mengejutkan, ketika saya meneliti Alquran, kata "insan" selalu dikaitkan dengan kecenderungan bersikap negatif Jadi, di balik kehebatannya, jiwa insani memiliki kelemahan dan cacat yang sangat merepotkan bagi dirinya. Mari kita lihat beberapa kutipan Alquran: "Sungguh ketika "insan"(manusia) merasa dirinya kaya, maka mereka lalu bersikap sombong dan melampaui batas" (QS 96: 6,7).  "Manusia (insan) itu mudah berkeluh kesah ketika mendapatkan kesulitan. Tetapi cepat berubah menjadi sombong dan kikir ketika nasibnya berubah menjadi kaya dan hidupnya enak" (QS 79: 19,20,21).  Dan manusia juga mudah sekali mengingkari nikmat Tuhan, enggan bersyukur (QS 100: 6). Manusia juga merasa hebat, pintar, namun sesungguhnya kesombongannya itu sekaligus menunjukkan kebodohannya (QS 33:72). 

Demikianlah masih banyak lagi isyarat Alquran yang menunjukkan bahwa tanpa bimbingan jiwa rabbani sesungguhnya jiwa insani memiliki kelemahan yang fatal. Makanya Allah mengirimkan para Rasul dan Kitab Suci sepanjang sejarah sebagai peringatan, panduan dan konsultan untuk meraih tahapan hidup yang lebih tinggi, lebih bermakna, dan lebih terarah dalam meneruskan perjalanannya ketika satu saat mesti melalui pintu gerbang kematian. Yaitu berpisahnya jiwa rabbani dengan badan wadahnya.

Jiwa rabbani (QS 3: 79) yang mampu berkomunikasi dengan Tuhan dan mengapresiasi realitas gaib yang tidak sanggup dijangkau oleh jiwa insani. Mereka yang beriman, yang kemudian disebut mukmin, adalah mereka yang jiwa rabbaninya selalu terhubungkan dengan cahaya Ilahi, sehingga jiwa-jiwa dibawahnya terkendali dan ikut tercerahkan. 

Beberapa instrumen yang menghubungkan jiwa rabbani dengan Allah terdapat beberapa istilah dalam Alquran, antara lain fuad, qalb, dan albab. Ketiganya menghubungkan antara jiwa insani dengan cahaya Ilahi. Dalam sejarah banyak pemikir yang cerdas secara intelektual dan sekaligus cerdas secara spiritual. Sosok Muhammad yang lahir dan tumbuh di padang pasir pada abad ke-6, tidak pernah memperoleh pendidikan di perguruan tinggi, namun mewariskan himpunan ucapan (hadits) dan mushaf Alquran yang kandungan kebenarannya  melampui zaman, pasti memiliki jiwa rabbani yang sangat cerdas dan kuat. 

Semakin hari semakin memperoleh pembenaran ilmiah apa yang disampaikan Muhammad pada abad ke-6 yang terhimpun dalam Alquran. Ini dimungkinkan karena dirinya dipimpin dan dikendalikan oleh jiwa rabbani yang dipandu oleh Ruhul Amin yang datang dari Allah. Para Rasul Tuhan sejak berabad-abad lalu hadir untuk membimbing manusia agar mengaktifkan jiwa rabbani dengan selalu ingat dan berpikir tentang Tuhan yang maha benar, maha baik, maha indah sehingga perjalanan manusia berproses naik martabatnya. Jika tidak, maka manusia akan mengalami kerugian dan kehancuran akibat kebodohan, kerakusan dan kesombongannya. Maha Suci Engkau ya Allah, sucikanlah hati dan pikiran kami.

Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Sumber : Metrotvnews.com
 
 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved