Kronologi Perubahan Gugatan Permintaan Maaf Atas Pemblokiran Internet di Papua
Kamis, 04 Juni 2020 - 20:00:09 WIB
SULUHRIAU- Direktur LBH Pers Jakarta Ade Wahyudin menanggapi pemberitaan sejumlah media terkait putusan PTUN yang menyebut Presiden harus minta maaf.
Menurutnya, gugatan permintaan maaf memang ada di draf awal yang disampaikan ke PTUN. Gugatan itu kemudian direvisi pihak penggugat. Namun hasil revisi gugatan belum diperbaharui di sistem PTUN.
"Itu memang gugatan awal kami. Tapi putusan akhir ini tidak permintaan maaf ditiadakan," tegas Ade saat konferensi Pers secara daring, Kamis (4/6/2020).
Kuasa Hukum Tim Pembela Kebebasan Pers, M. Isnur menjelaskan polemik hilangnya petitum mengenai permintaan maaf di media atas pemblokiran internet di Papua. Isnur menjelaskan, kekeliruan ada di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta.
"Di SIPP yang kemarin didapat masih menggunakan draf yang lama, dan dicapture oleh rekan-rekan media padahal gugatannya sendiri sudah diperbaiki ada banyak perubahan bukan hanya padan petitum tapi juga pada posita atau pokok perkara dan kronologi dan lain-lain," katanya.
Isnur mengatakan, isi gugatan awalnya meminta majelis hakim menghukum para tergugat meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia khusus Papua dan Papua Barat di media.
Namun seiring berjalannya waktu, atas saran hakim, petitum itu diperbaiki. Sebab selama ini ranah PTUN hanya membatalkan keputusan pada level salah atau benar, melanggar hukum dan apabila bentuknya putusan bisa dicabut. Tidak memutuskan tergugat meminta maaf.
"Karena ini di PTUN akhirnya hakim kasih masukan diskusinya adalah kalau minta maaf, menyuruh mengulangi PTUN tidak bisa. Sehingga ada perbaikan di sidang pendahuluan kami menghilangkan petitum petitum kami yang lain hanya menyertakan perbuatan melawan hukum," ujar dia.
Isnur mengatakan, dalam prosesnya ternyata SIPP tidak memasukan berkas yang sudah diperbaiki. "Jadi begitu kronologinya," terang dia.
Sebelumnya, salah seorang penggugat juga menceritakan kronologi tak ada putusan permintaan maaf dalam vonis di PTUN.
"Itu gugatan pertama kami, itu yang sebelum direvisi. Nah gugatan yang ada itu, tidak ada permintaan maafnya," ujar salah satu penggugat Ade Wahyudin.
Dia menjelaskan, revisi gugatan permintaan maaf ini dilakukan setelah mendapat masukan dari berbagai pihak.
"Karena pengadilan tidak mengenal model permintaan maaf seperti itu. Akhirnya sarannya ini diturunkan gitu kan, ya sudah saran itu kita ikutin dan akhirnya pas perbaikan kita ajuin yang tidak ada permintaan maafnya. Tapi itu sempet kita masukin yang itu, itu gugatan pertama juga, gugatan yang kita masukan."
Pemerintah Dinyatakan Bersalah
Dalam keputusannya, majelis hakim PTUN Jakarta, menyatakan memperlambat dan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 lalu adalah bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Kementerian Kominfo dan Presiden RI.
Demikian bunyi amar putusan yang dibacakan oleh Hakim Ketua Nelvy Christin pada Rabu (3/6).
"Tindakan pemerintahan Throttling atau pelambatan akses/bandwitch di beberapa wilayah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan dan atau pejabat pemerintahan," kata dia.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tak dianggap enteng oleh Presiden dan Pemerintah.
Majelis hakim PTUN Jakarta, menyatakan memperlambat dan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 lalu adalah bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Kementerian Kominfo dan Presiden RI.
Demikian bunyi amar putusan yang dibacakan oleh Hakim Ketua Nelvy Christin pada Rabu (3/6/2020).
Isnur melihat, dalam konteks hukum tata usaha negara, putusan ini adalah masalah yang serius. Jika kebijakan pemerintah dinyatakan melanggar hukum, berarti kebijakan tersebut dilakukan tanpa kekuatan hukum yang mengikat dan tanpa dasar yang jelas.
Padahal, menurut konstitusi yang terkatub di Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan indonesia adalah negara hukum.
"Jadi kalau ada tindakan pemerintah yang melanggar hukum berarti tindakan tersebut bertentangan atau melawan konstitusi, sedangkan pemerintah Presiden, Menteri dan lain-lain semua diambil sumpah, janji untuk taat dan melaksanakan konstitusi," ucap dia.
Isnur juga heran dengan respons Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menanggapi putusan ini. Plate menyebut dalih kerusakan infrastruktur.
Pemerintah Hormati Putusan PTUN
Pemerintah menghormati putusan Pengadilan Negeri Tata Usaha (PTUN) Jakarta terkait perkara pemutusan atau pemblokiran akses internet di Papua. Dalam amar putusannya dikatakan Presiden Joko Widodo dan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate, dihukum untuk membayar biaya perkara tersebut sebesar Rp457 Ribu.
"Pemerintah menghormati. Belum diputuskan apa langkah hukum selanjutnya dari pihak Pemerintah," kata Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, kepada merdeka.com, Rabu (3/6/2020).
Dia menjelaskan, masih ada waktu 14 hari sebelum putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Pemerintah masih belum memutuskan langkah apa yang akan diambil.
"Akan dibahas lebih lanjut dengan jaksa pengacara negara. Yang jelas masih ada waktu 14 hari sejak putusan PTUN untuk putusan tersebut berkekuatan hukum tetap," kata Dini.
Sumber: merdeka. com
Komentar Anda :