Myanmar: Media Tulis Berita Palsu Soal Rohingya Untuk Sesatkan Publik
Kamis, 07 September 2017 - 10:06:11 WIB
SULUHRIAU- Militer Myanmar membantah tuduhan melakukan kampanye kekerasan yang tidak pandang bulu atas umat Muslim Rohingya.
Dalam konferensi pers di ibu kota Naypitaw, Rabu (06/09), Penasihat Keamanan Nasional, Thaung Tun, menggemakan pernyataan Aung San Suu Kyi sebelumnya.
Menurut Aung San Suu Kyi -yang menjabat Konseler Negara dan merupakan pemimpin Myanmar sebenarnya- krisis di Negara Bagian Rakhine telah diputarbalikkan oleh yang disebutnya 'informasi yang salah'.
Hal itu diungkapkannya setelah adanya tekanan dari dunia internasional selama beberapa hari belakangan yang berpendapat pemerintah Myanmar gagal melindungi warga Rohingya di Rakhine.
Komentarnya itu merupakan yang pertama sejak maraknya kekerasan di Rakhine pekan lalu, yang -menurut perkiraan PBB- mendorong sekitar 140.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Dan Thaung Tun, kepada para wartawan juga menuding bahwa media yang bertanggung jawab.
Thaung Tun tidak merujuk secara rinci berita yang menurutnya palsu. "Saya amat kecewa dan sedih dengan kampanye informasi yang berlangsung di seluruh dunia mengenai situasi di Rakhine. Sejumlah berita yang dibuat-buat itu ditulis dan diterbitkan untuk menyesatkan khalayak umum."
Thaung Tun menambahkan bahwa semua berita itu palsu, tanpa merujuk secara rinci yang dimaksudnya. "Berita-berita itu hanya memperuncing situasi."
Aksi terorisme, kata warga Yangon
Seorang dokter yang tinggal di Yangon yang fasih berbahasa Indonesia mengatakan bahwa berita-berita yang mereka baca dan mereka lihat di TV melaporkan bahwa yang terjadi di Negara Bagian Rakhine adalah aksi terorisme.
"Kan mereka menyerang pos-pos polisi segala macam, itu kan tindakan terorisme dan bukan tindakan pemberontakan lagi. Sudah beda," katanya ketika dihubungi lewat telepon.
Myanmar, koran,AFP Berita-berita yang dibaca di Yangon, menurut seorang warga, melaporkan insiden diRakhine sebagai tindakan terorisme.
Dokter yang tidak bersedia disebutkan namanya itu juga berpendapat bahwa kekerasan yang terjadi di Rakhine sebenarnya tidak terkait dengan masalah agama.
"Bukan cuma masalah agama. Jadi di daerah situ kan masalahnya sangat banyak, termasuk imigran gelap juga. Jadi kita tidak bisa melihatnya sebagai umat Islam. Kebetulan mereka Muslim tapi masalahnya lebih rumit dari pada itu."
Bagi dokter yang pernah tinggal di Yogayakarta ini, juga tidak benar jika dianggap kekerasan oleh aparat keamanan di Rakhine itu tergolong pembunuhan massal.
"Kalau semacam genosida itu nggak, saya rasa. Kalau tindakan terorisme kan harus ditindak tegas oleh polisi atau mungkin bisa jadi army (tentara) karena kelompok-kelompok itu, kayak ARSA (kelompok militan Islam Rohingya yang dituduh menyerang pos polisi), kan belum tentu warga negara Myanmar."
Para pengungsi Rohingya yang berhasil mencapai tempat penampungan sementara di Bangladesh mengatakan bahwa aparat keamanan dan milisi Buddha membakari kampung-kampung mereka.
Namun Thaung Tun meminta agar para warga yang menjadi korban itu memberikan bukti-bukti ke pengadilan.
"Kami mengirim tim penyelidikan ke Cox's Bazaar (distrik di Bangladesh yang banyak menampung pengungsi Rohingya) dan meminta mereka untuk datang ke Myanmar di bawah perlindungan internasional dan menyampaikan kasusnya di pengadilan, memberikan bukti-bukti."
Pekan lalu pelapor khusus hak asasi PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mengkritik Aung San Suu Kyi yang dianggap gagal melindungi orang Rohingya walau menyadari dia berada dalam posisi yang sulit.
Sementara itu muncul petisi di internet untuk meminta agar Komite Nobel mencabut Nobel Perdamaian yang dianugerahkan kepada Suu Kyi tahun 1991 lalu.
Pihak berwenang Myanmar, seperti pada masa-masa lalu, membantah melakukan kekerasan atas Rohingya di Rakhine namun menggelar operasi militer untuk memberantas kelompok militan Rohingya, yang dituduh menyerang sekitar 20 pos polisi.
Menyangkut kampung-kampung yang dibakar, Menteri urusan Keamanan Perbatasan di Rakhine, Kolonel Phone Tint menolak jika aparat keamanan yang dituduh bertanggung jawab.
Kepada wartawan BBC, Jonathan Head -yang ikut dalam perjalanan yang diatur pemerintah ke kota Maungdaw di dekat perbatasan Myanmar dan Bangladesh- dia mengatakan penghancuran kampung-kampung sengaja dilakukan oleh milisi Rohingya untuk mendorong warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Dalam perkembangan terpisah, Bangladesh akan menyampaikan protes resmi kepada pemerintah Myanmar karena diduga memasang ranjau darat di dekat salah satu perbatasan kedua negara.
Sumber: bbc Indonesia, detik.com | Editor: Jandri
Komentar Anda :