SULUHRIAU, Jakarta - Badan Keahlian DPR meminta masukan pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) soal rencana revisi UU KPK. Masukan yang disampaikan para pembicara satu suara, yakni menolak rencana tersebut.
Forum yang bertajuk 'Menangkap Aspirasi Publik Mengenai Rencana Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK' digelar di Fakultas Hukum UGM, Bulaksumur, Sleman, Rabu (22/3/2017).
Hadir dalam seminar tersebut Kepala Badan Keahlian DPR Johnson Rajagukguk, Kepala Pusat Perancangan UU Badan Keahlian DPR Inosentiussamsul, Guru Besar FH UGM Prof Dr Eddy OS Hiariej, dua Dosen Hukum Administrasi Negara FH UGM Dr Zainal Arifin Mochtar dan Mahaarum Kusuma Pertiwi SH MA M Phil.
Menjadi pembicara pertama, Johnson memaparkan latar belakang rencana revisi UU KPK. Dia menyampaikan bahwa latar belakang dari rencana ini adalah perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia yang terus meningkat.
Peningkatannya terjadi baik secara kuantitas maupun kualitas. Jumlah kasus dan kerugian negara semakin meningkat, begitu pula dengan tindak pidananya yang semakin sistematis dan memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
"Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis, juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat," kata Johnson.
Salah satu poin yang mendapat sorotan dari publik, kata Johnson adalah soal penyadapan. Johnson menyampaikan di revisi UU KPK disebutkan penyadapan tetap bisa dilakukan oleh KPK dengan izin dewan pengawas.
Tak hanya itu, dia berpendapat penyadapan seharusnya tidak semata-mata menjadi alat bagi proses penindakan semata. Dia juga menyampaikan penyadapan seharusnya bisa dipakai untuk mencegah seorang melakukan korupsi.
Ino melanjutkan penjelasan soal poin penyadapan dengan lebih detail. Soal pelaksanaan penyadapan ada di Pasal 12A yang berbunyi, "Penyadapan dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup; dan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas."
Kemudian di Pasal 12 B disebutkan, dalam keadaan mendesak, penyadapan dapat dilakukan sebelum mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Selanjutnya Pimpian KPK harus meminta izin tertulus dari Dewan Pengawas dalam waktu paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah dimulainya penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Di pasal selanjutnya yakni pasal 12D disebutkan, penyadapan dilaporkan kepada Pimpinan KPK secara berkala.
"Di pasal 12E, hasil penyadapan bersifat rahasia kecuali untuk kepentingan peradilan tindak pidana korupsi. Hasil penyadapan yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK wajib dimusnahkan," tutur Ino.
Menanggapi ini, Zainal mempertanyakan lembaga-lembaga lainnya yang juga menggunakan model penyadapan.
"Lalu mengapa hanya KPK yang dipersoalkan?" kata Zainal
Selain itu, Zainal mengimbuhkan, bahwa putusan MK menyatakan penyadapan sangat mungkin merupakan pembatasan hak asasi. Sehingga soal penyadapan, harus diatur di dalam undang-undang tersendiri.
"Mengapa (diaturnya) di UU KPK?" kata pria yang akrab disapa Uceng ini.
Selain itu, Uceng mengingatkan adanya United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang bahkan di dalamnya sudah sampai pada pembahasan penjebakan.
"Saya khawatir teman-teman (DPR) tidak membaca UNCAC. UNCAC sudah 20 langkah, tapi ini masih berpikir soal hak tersangka," ujarnya.
"Lalu (tentang pasal 12B, dalam keadaan mendesak tak perlu izin dari dewan pengawas) mendesak, ya pasti mendesak (sehingga harus menyadap)," tegas Zainal.
Secara keseluruhan, Zainal menyebut bau anyir dari rencana revisi UU KPK tidak bisa dipungkiri. "Ini bukan soal KPK tidak boleh disentuh. Tapi yang terjadi selalu ada aksi dan reaksi. Revisi ini adalah tukar menukar program legislasi, ditukar dengan tax amnesty," urai Zainal.
Tak hanya itu, menurut Zainal ada UU Korupsi yang lebih mendesak untuk dipikirkan daripada merevisi UU KPK. "(DPR) Tidak mendengar dan (revisi UU KPK) tidak melalui aspirasi publik dengan baik, tanpa pelibatan KPK dan masyarakat antikorupsi," tegasnya.
Senada dengan Zainal, Eddy menegaskan penolakannya terhadap rencana revisi UU KPK. Di saat materi hukum materil yakni UU Korupsi masih bermasalah, banyak yang tidak sesuai dengan UNCAC, DPR justru mendahulukan rencana revisi UU KPK.
"KPK bukan lembaga ad hoc. Dia permanen. Yang justru saya idamkan, KPK menjadi lembaga tunggal pemberantasan korupsi. Justru lebih penting dipikirkan soal pembentukan KPK di daerah, itu lebih urgent," jelasnya.
Soal birokrasi penyadapan KPK yang diperpanjang dengan harus izin pada dewan pengawas juga ditolaknya. "Penyadapan kok harus minta izin. Kalau tidak diizinkan, lalu bagaimana? Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus ditangani dengan luar biasa," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Mahaarum mempertanyakan apakah benar bahwa penyadapan melanggar HAM. Menurutnya, HAM juga memiliki batasan.
Mahaarum mennyampaikan di pasal 28 J (2) UUD 1945, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. "Dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," tuturnya.
Sumber: d
Komentar Anda :